8.29.2015

Mencoba Berdamai

Tak mudah ternyata punya teman yang sensitif abiiiis. Kalau lagi kumat sensitifnya, habislah kita...apa yg kita perbuat pastilah kalau ada kelirunya berarti salah kita.

Entahlah harus nunggu telor ayam jadi martabak spesial dulu ato jadi telor ceplok untuk membuatnya mengerti bahwa masing-masing orang punya waktunya sendiri-sendiri untuk mengungkapkan alasan.

Menurutnya, saya salah karena tidak bercerita jauh-jauh hari tentang pernikahan saya sehingga dia tidak bisa menghadirinya. Dia merasa tak saya anggap spesial karena bukan orang yang pertama tahu tentang pernikahan saya. Okay, saya salah.

Saya sudah mengakui kalau saya salah dan meminta maaf tapi tetap saja tanggapan-tanggapan obrolannya garing. Mungkin, mungkin loh ya ini...karena saya tak tahu pasti, mungkin karena dia merasa bahwa dirinya tak saya anggap sebagai sahabat lagi jadi tak perlu lah lagi untuk menanggapi obrolan-obrolan saya seramah sebelum pernikahan saya.

Mencoba berdamai bukan hanya sekali saya lakukan. Seingat saya sih sudah lebih dari 2 kali. Tapi apalah saya ini, hanya manusia biasa yang penuh dosa sehingga sepertinya memang hanya tanggapan kurang ramah saja yang pantas saya terima.

Yaaaah, saya cuma mampu bercerita saja tentang hal ini. Sekedar untuk pengingat saja untuk saya. Bila esok-esok hari saya bertemu lagi dengan orang yang bertipe seperti ini, sebaiknya saya berhati-hati dalam menjaga hubungan pertemanan.

Hidup memang tak pernah akan berjalan selalu mulus karena onde-onde yang mulus tanpa wijen bukanlah onde-onde tapi disebut kasturi. Semoga hidup teman saya selalu mendapatkan yang terbaik dari Sang Pencipta, aamiin. Saya tak berani mendoakan yang lain lagi, takut makin didampratnya saya nanti. Hehehe :D 

Pelajaran yang saya dapat adalah tak mudah ternyata bagi orang kebanyakan untuk benar-benar ikhlas mendoakan kebahagiaan seseorang tanpa harus tahu latar belakang proses kebahagiaan itu terjadi. Sekali lagi, pelajaran ikhlas menjadi tema dalam kehidupan ini.