6.28.2015

Bentol

Semua berawal dari penasaran.

Saya, sudah lamaaaaa sekali ingin makan nasi goreng. Mungkin aneh bagi Anda yang belum mengenal saya. Pikir Anda, ya kalau memang ingin makan nasi goreng, ya belilah dan makanlah. Selesai urusan. Namun itu Anda, bukan saya. Kalau saya, pengen makan sesuatu itu bisa berarti makanan yang agak saya pantang untuk memakannya atau yang memang favorit saya. Nah, saya bukan penyuka nasi, sehingga makan nasi goreng bukanlah hal yang penting-penting amat. Apalagi bila ada tawaran makan pecel, pastilah nasi goreng akan saya jadikan pilihan terakhir dalam menu makan saya hari itu.

Kembali ke keinginan makan nasi goreng, hal itu sudah berlangsung sekitar sebulan lebih dan baru terealisasi awal puasa tahun ini. Itupun karena saya sedang dinas di Kupang yang saya kurang tahu warung-warung di sana menjual makanan apa saja. Menurut saya, nasi goreng pastilah ada karena nasi goreng sudah semacam makanan khas Indonesia, mirip-mirip mie instan itulah... ;)

Nasi goreng yang saya makan adalah hasil menitip seorang teman yang berjalan-jalan ke kota, sedangkan saya memilih tetap tinggal di hotel dan menikmati tayangan tv kabel yang tidak saya miliki di kost. Suapan pertama sudah berasa aneh, baik dari segi rasa dan bau. Tapi waktu itu saya pikir "sudahlah, mungkin karena agak kelamaan di jalan..", sehingga saya tetap memakannya sampai kira2 separo lebih saya merasa kenyang dan saya tinggalkan begitu saja. Setelah makan nasi goreng itu, saya melanjutkan aktifitas saya menyaksikan tayangan tv kabel hingga terlelap. 

Walhasil, ketika alarm saya berbunyi sekitar pukul satu dini hari untuk sahur, saya merasa badan saya gatal-gatal. Saya hanya garuk-garuk tanpa saya lihat seperti apa bentuk kulit saya yang gatal itu. Namun setelah saya mulai merasa gatal dibagian lengan dan dahi, barulah saya berjalan menuju ke arah kaca yang ada di ruangan kamar hotel dan menemukan bahwa dahi, lengan, dan paha saya bentol-bentol merah seperti digigit nyamuk satu koloni.

Melihat bentol-bentol yang banyak, saya panik. Saya basuh area-area tadi dengan air, kemudian saya olesi dengan minyak beruang dan minyak telon. Saya tunggu sekitar 15 menit dan tak ada pengaruh apapun. Kemudian saya mencari obat alergi yang biasa saya bawa, saya meminumnya satu butir dan beberapa saat kemudian saya tertidur karena pengaruh obat. Saya pun kemudian terbangun lagi ketika alarm menjelang subuh berbunyi dan bentol-bentol itu masih ada dan makin meluas.

Itulah awal saya kena bentol-bentol tak jelas ini. Panik, tersiksa, panas, gatal, dan perasaan tak nyaman lainnya yang ada. Namun karena sudah 3 akhir pekan saya lewati dan saya sudah mencoba berbagai macam pengobatan, akhirnya saya menjadi merasa punya teman baru, yaitu si bentol. Saya sudah tak terlalu memperdulikan kehadirannya, kecuali bila ada rasa panas mengikuti. Bila hanya gatal biasanya saya diamkan, namun bila ditambah panas, barulah saya akan panik. Tapi yaa...., sepertinya saya harus sering-sering berdamai dengan si bentol.

6.07.2015

menikah (?)

Kata 'nikah', 'hamil', 'kerja' dan 'sekolah' adalah kata-kata yang menimbulkan apresiasi berbeda antara pelaku dan korban. Pelaku dalam hal ini bisa saja yang menanyakan, mengungkapkan, atau mengucapkan perihal salah satu dari empat kata tadi, dan korban adalah yang mendapatkan pertanyaan, ungkapan atau ucapannya.

Bagi saya, setiap manusia pastilah akan melewati fase-fase berada pada kondisi kritis, yaitu kondisi yang merealisasikan dari empat kata di atas. Minimal, dua dari empat kondisi akan terealisasikan dan terjalani. Semua itu akan terealisasi tidak serta-merta sang bangau datang membawa selembar kertas yang menyatakan bahwa kondisi-kondisi tersebut telah terjalani, tapi semua membutuhkan usaha dan doa di masa sebelumnya, saat, dan sesudahnya.

Faktor yang tidak penting dan tidak mutlak kadangkala malah terlihat penting dan mutlak di masa kini. Contohnya adalah saat seseorang mendapatkan pekerjaan di tempat bergengsi dan memang menjadi mimpinya. Orang-orang disekelilingnya akan turut bersukacita bila ditraktir gaji pertamanya, dan itu menjadi mutlak atau penting karena gengsi yang akhirnya timbul, bukan kewajiban. Kalau menilik esensi utama dari memiliki penghasilan, seharusnya orang tersebut segera menyisihkan sebagian hartanya (baca: gaji) untuk kaum yang berhak. Kalau di Islam disebut zakat maal dengan besaran 2,5% dari total penghasilan yang didapatnya. Namun manusia kekinian terkadang lupa atau bahkan sengaja melupakan yang wajib, dan malah mementingkan gengsi semata. Ahh, entahlah...

Saya kurang paham kenapa bila kita melanggar gengsi tersebut malah seringkali kita mendapatkan cemoohan dari masyarakat, meskipun kita telah menunaikan kewajiban kita.

Rasa-rasanya, hidup kita ini sudah dipenuhi dengan keangkuhan dan gengsi semata ketimbang yang pokok dan wajib yang seharusnya dijalani dahulu.

Ahh, sudahlah, ngelantur apa saya ini....

#eleginontonpameranweddingyangsuperdupermegah